A.
Institute Agama islam Negeri (IAIN)
Pendidikan Islam sudah menjalani masa yang cukup panjang dimana ia
mengalami perkembangan dan pasang surut historis. Kelahiran Institut Agama
islam Negeri tidak lain karena usaha gigih ummat islam, yang mayoritas di
Indonesia ini, dalam usaha mengembangkan pendidikan Islam yang lengkap, yang
dimulai dari sistem pendidikan pesantren yang sederhana sampai ke tingkat
perguruan tinggi.
Dengan berlalunya waktu, kebutuhan akan pendidikan dikalangan umat
Islam juga berkembang. Pada awal abad ke-20, pendidikan umat Islam terbatas
pada pesantren dan madrasah yang bagaimanapun juga hanyalah pendidikan dasar
dan menengah. Oleh karena itu, segera disadari perlunya mendirikan perguruan
tinggi. Kesadarn ini dilandasi oleh dua faktor. Pertama, kondisi internal umat Islam. Di kalangan umat Islam sudah
semakin banyak generasi yang menyelesaikan pendidikan menengah, baik melalui
sekolah umum maupun sekolah agama (pesantren dan madrasah). Kedua, semakin besarnya peranan lulusan
universitas sekuler model barat di tengah masyarakat Indonesia, dengan
sendirinya menantang umat Islam untuk berfikir dan berupaya menyediakan sistem
pendidikan tinggi bagi generasi mudanya.[1]
Menurut Mahmud Yunus, Islamic College pertama telah
didirikan dan dibuka di bawah pimpinannya sendiri pada tanggal 9 Desember 1940
di padang Sumatera barat. Lembaga tersebut terdiri dari dua fakultas, yaitu
syariat/agama dan pendidikan serta Bahasa Arab. Tujuan yang ingin dicapai
adalah untuk mendidik ulama’-ulama’.[2]
Pada tahun 1945 tepatnya 8 juli 1945 dengan bantuan pemerintah
pendudukan Jepang, disaat peringatan Isra’ mi’raj nabi Muhammad SAW didirikan
sekolah tinggi Islam di Jakarta. Tujuan dari pendirian lembaga pendidikan
tinggi ini pada mulanya adalah untuk mengeluarkan alim ulama yang intelek.
Studi di lembaga ini berlangsung selama dua tahun sampai mencapai
gelar Sarjana Muda, ditambah dua tahun lagi untuk mencapai gelar semacam
sarjana, dan setelah menulis Tesis berhak mendapatkan gelar Doktor. Untuk
kurikulum yang diajarkan kebanyakan mengambil atau mencontoh seperti yang dilakukan
oleh Universitas Al Azhar Kairo.[3]
Mengenai karier di masa depan para lulusan, disebutkan
jabatan-jabatan sebagai berikut:
a.
Sebagai guru agama pada berbagai macam sekolah
b.
Pejabat pada Peradilan Agama
c.
Sebagai Pegawai Negeri dan Dinas Keagamaan.[4]
Sekolah Tinggi
Islam ternyata tidak dapat bertahan lama di Jakarta, sebab pada bulan Desember
1945, tatkala Jakarta diduduki dan dikuasai oleh pasukan sekutu di bawah
pimpinan Jenderal Cristianson, untuk sementara lembaga perguruan tinggi
terpaksa ditutup. Baru pada tanggal 10 April 1946 Sekolah Tinggi Islam (STI)
dibuka kembali, tapi tempatnya tidak lagi di Jakarta, melainkan di Yogyakarta.[5]
Pada tanggal 22
Maret 1948, STI namanya menjadi University Islam Indonesia (UII), dengan
memiliki beberapa fakultas, yaitu:
a.
Fakultas Agama
b.
Fakultas Hukum
c.
Fakultas Ekonomi
d.
Fakultas Pendidikan.[6]
Pada tanggal 22
Januari 1950 sejumlah pemimpin islam dan para Ulama juga mendirikan sebuah
Universitas Islam di Solo. Dan pada tahun 1950 itu juga Fakultas Agama yang
semula ada di University Islam Indonesia Yogyakarta diserahkan ke pemerintah,
yakni Kementerian Agama yang kemudian dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) dengan PP Nomor 34 tahun 1950, yang kemudian menjadi Institut
Agama Islam Negeri (IAIN).[7]
Pada mulanya
IAIN ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu dua Fakultas di Yogyakarta dan dua
Fakultas di Jakarta. Di kedua tempat ini, IAIN dengan cepat berkembang menjadi
sebuah Institut dengan 4 Fakultas, yang pada tiap fakultasnya kuliah selama 3
tahun, dan dapat dilengkapi dengan spesialisasi selama dua tahun. Ke empat
fakultas tersebut adalah sebagai berikut:
a)
Fakultas Ushuluddin
b)
Fakultas Syari’ah
c)
Fakultas tarbiyah
d)
Fakultas Adab atau Ilmu Kemanusiaan.
Setelah itu,
IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam berkembang terus dan menyebar ke
berbagai wilayah di Indonesia. Sampai sekarang IAIN seluruh Indonesia sudah
berjumlah 14 buah, dengan sejumlah fakultas dan program yang dikembangkan, bahkan
tidak sedikit dari IAIN tersebut yang mempunyai cabang di daerah-daerah
lainnya.[8]
Dalam pasal 2
Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN ditegaskan,
bahwa IAIN bermaksud untuk memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat untuk
memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Dalam
konteks ini IAIN diorientasikan menjadi pusat studi pengembangan dan
pembaharuan pemikiran Islam.[9]
Lebih tegasnya,
peran IAIN adalah dengan memberikan wawasan, panduan dan arahan untuk
kemaslahatan. IAIN bisa memberikan sumbangan yang paling esensial yaitu dengan
cara menggali nilai-nilai dasar sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan
hadist.
Salah satu
perkembangan yang signifikan dalam sejarah IAIN adalah pembukaan program
pascasarjana (1982). Dengan demikian, alumni S1 dapat melanjutkan pendidikannya
ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu program S2 (magister), bahkan program S3
(Doktor). Perkembangan akhir yang perlu dikemukakan adalah berdirinya Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) sebagai anak kandung IAIN yang terpaksa
dilahirkan karena adanya kebijakan pemerintah yang melarang duplikasi fakultas
dalam sebuah perguruan tinggi. Maka setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden
Nomor 11 Tahun 1947, kampus-kampus cabang IAIN direstrukturisasi menjadi 33
STAIN. Bersama 14 IAIN
yang sudah lebih dahulu berdiri, praktis sekarang ini Departmen Agama dan Umat
Islam mempunyai 47 lembaga pendidikan tinggi Islam negeri.[10]
Demikianlah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang peranannya
dalam rangka pencerdasan manusia Indonesia khususnya umat Islam tidak diragukan
lagi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut tetap tumbuh dan berkembang
mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa sebagai generasi muda Indonesia,
yang mayoritas beragama Islam menjadi manusia-manusia yang beragama, bersatu
dan berjiwa kebangsaan.
Posting Komentar