Periode kedua sejarah perkembangan hadis,
adalah masa sahabat khususnya masa Khulafa’ al-Rasyidin atau disebut dengan
masa sahabat besar yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H.
Kondisi pada masa sahabat besar, perhatian mareka masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Dengan demikian maka penulisan hadis
belum begitu berkembang, bahkan mereka membatasi periwayatan dan menjauhi
penulisan hadis tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap
sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa
al-iqlal min al-riwayah).
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan
dan penulisan hadis yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka
khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul saw. Karena hadis
adalah sumber ajaran setelah al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya
khulafa’ al-rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya, seperti az-Zubair, Ibn Abbas,
dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan, penerimaan dan penulisan
hadis. Dan juga perhatian sahabat pada masa ini terfokus sekali pada usaha
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana al-Qur’an
dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab, usaha pembukuan ini
disempurnakan pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Sikap
memusatkan perhatian pada al-Qur’an bukan berarti mereka lalai dan tidak
menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang
diterima dari Rasul saw. Secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan tetapi
dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
1.
Jalan Yang Ditempuh Para
Sahabat Dalam Meriwayatkan Hadis
Ketika Rasul saw. Masih berada di tengah-tengah
sahabat belumlah ada hal-hal yang menyebabkan ulama memberikan penilaian
terhadap hadis-hadis yang mereka terima, sedang tiap-tiap perselisihan antara
mereka, langsung ditanyakan kepada Rasul saw. Selain menyampaikn
ajaran-ajarannya Rasul saw. juga memutuskan setiap persoalan yang dihadapi para
sahabat di dalam masyarakat. Setelah Rasul saw. wafat, maka dada sahabat merupakan tempat
pemeliharaan hadis. Setelah wahyu putus, nifaq (kemunafikan) telah berani
menampakkan kukunya, orang Arab banyak yang murtad, maka muncul orang munafik
mengada-adakan hadis palsu. Sebagian orang Arab dusun mulai memalsukan hadis.[1]
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama
menunjukkan perhatiannya dalam pemeliharaan hadis. Beliau menentang
kemungkaran-kemungkaran orang murtad dan pembangkangan pengeluaran zakat,
beliau juga mengadakan penilaian-penilaian riwayat. Beliau meletakkan batu
pertama dalam undang-undang periwayatan hadis. Tindakan beliau diikuti oleh
Umar ibn Khattab. Beliau (Umar ibn Khattab) mengadakan ancaman-ancaman kepada
orang-orang yang berdusta dalam hadis dan melarang orang meriwayatkan hadis
banyak-banyak.
Diantara usaha Umar ibn Khattab ialah:
a.
Menyedikitkan Riwayat
Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat yang lain
memperhatikan benar-benar perkembangan hadis. Mereka mendapati hadis-hadis itu
tersimpan dalam dada hati orang-orang yang berilmu, sebagai simpanan yang berharga.
Namun demikian mereka tidak berkehendak mengembangkan pasar periwayatan hadis,
agar orang-orang munafik tidak memperoleh jalan untuk menambah-nambah hadis,
dan agar terhindar dari kekeliruan-kekeliruan periwayatan hadis yang disebabkan
kelupaan atau kekhilafan yang mangakibatkan berbuat dusta kepada Rasul saw.
tanpa disadari. Bahkan mereka tidak membolehkan orang berpaling dari membaca
al-Qur’an dikarenakan meriwayatkan hadis. Karena para sahabat sangat
berhati-hati dalam meriwayatkan hadis dan khawatir akan dipergunakan
orang-orang munafik sebagai jalan membuat-buat hadis palsu. Para sahabat
berpegang teguh kepada sabda Nabi saw.
اياكم وكثرة الحد يث ومن قال عنى فلا يقولن
الا حقا
“Janganlah
dirimu dari banyak meriwayatkan hadis, barang siapa berkata atas namaku, maka
janganlah dia mengatakan selain dari yang haq”
b.
Berhati-hati Dalam
Meriwayatkan Hadis
Sebagaimana para sahabat menyedikitkan riwayat,
tidak mau membanyakkannya, begitu pula mereka sangat berhati-hati dalam
menghadapi rawi dan marwi. Di dalam menghadapi marwi, mereka
bercermin kepada kitab Allah dan hadis mutawatir, sekurang-kurangnya hadis
masyhur.
Para sahabat dalam menerima hadis sangatlah
berhati-hati. Hadis-hadis yang diterima oleh jiwa mereka, karena hadis itu
mutawatir, masyhur, ahad yang tidak terdapat di dalam rangkaian rawi-rawinya
orang yang diragukan hafalan dan kedlabitannya, mereka menerima dan
mengamalkannya. Para sahabat pada umumnya tidak meminta saksi kepada yang
menyampaikan hadis, tetapi apabila mereka menghadapi hadis yang diragui,
barulah mereka meminta keterangan-keterangan yang bisa menolong untuk
menimbulkan keyakinannya, dan mereka menolak hadis yang tidak ada bukti
kebenarannya atau menyalahi kitab Allah (al-Qur’an).
c.
Para Sahabat Tidak
Meriwayatkan Hadis Yang Belum Dapat Difahami Umum
Telah dibayangkan bahwasanya Rasul saw. sering
mengkhususkan suatu ilmu, atau sesuatu ketetapan bagi orang-orang yang
mempunyai faham yang kuat dan kecerdasan yang nyata, serta melarang mereka
menyampaikan ilmu itu kepada umum, karena khawatir menimbulkan suatu kesalah
fahaman.
Contoh: hadis yang disampaikan Rasul saw.
kepada Muadz bin Jabal.
عن معاد بن جبل رضي الله عنه قال: كنت ردف النبى
صلى الله عليه وسلم على حمار يقال له (عفير) فقال: "يا معاد هل تدر حق الله
عل عباده وماحق العباد على الله؟ قلت الله ورسوله اعلم قال:فان حق الله على العباد
ان يعبدوه ولا يشركوا به شئا وحق العباد على الله ان لا يعدب من لا يشرك به شئا
فقلت يارسول الله افلا ابشربه الناس؟ قال: "لا تبشرهم فيتقلوا"
Hadis
tersebut baru disampaikan Muadz kepada orang lain di waktu beliau akan wafat
untuk menghindari dosa karena menyembunyikan ilmu.[2] Dan
para sahabat menempuh jalan ini, yaitu tidak menyampaikan kepada masyarakat
yang tidak dapat difahami oleh akal mereka, karena dikhawatirkan mereka
meninggalkan sebagian hukum syara’ lantaran salah dalam memahami hadis yang
disampaikan kepada mereka atau keliru dalam memahaminya.
2.
Periwayatan Hadis Dengan
Lafadz dan Makna
Pembatasan atau menyedikitkan periwayatan hadis
yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti
hadis-hadis Rasul saw. tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu
hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan umat
islam seperti dalam permasalahan ibadah dan mu’amalah. Periwayatan tersebut dilakukan
setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebut dan kebenaran isi
matannya. ada dua jalan yang ditempuh para sahabat dalam meriwayatkan hadis
dari Rasul saw. yaitu:
a.
Periwayatan Lafdzi
(Redaksi)
Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul saw. Ini hanya
bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul saw.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini, mereka
berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul saw. bukan
menurut redaksi mereka. Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan
periwayatan hadis dengan jalan lafdzi adalah Umar ibn Khattab. Beliau
seringkali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata)
dengan yang pernah didengarnya dari Rasul saw.
b.
Periwayatan Maknawi
(Maknanya Saja)
Di antara para sahabat lainnya ada yang
berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti
yang diwurudkan Rasul saw., boleh meriwayatkan hadis secara maknawi.
Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama
dengan yang didengarnya dari Rasul saw., akan tetapi isi atau maknanya tetap
terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw., tanpa ada
perubahan sedikitpun. Meskipun demikian para sahabat melakukannya dengan sangat
hati-hati. Periwayatan hadis dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya
hadis-hadis yang redaksinya berbeda antara hadis yang satu dengan yang lainnya,
meskipun maksud atau maknanya tetap sama. Hal ini sangat tergantung kepada para
sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut.[3]
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini
adalah, bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap Kitab Allah
(al-Qur’an). Mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran mushaf dan dalam hati
mereka. Kehati-hatiannya terhadap al-Kitab ini juga diberlakukan terhadap
as-Sunah (hadis) untuk menjaga keontentikan keduanya, setelah al-Kitab
terkumpul dalam satu mushaf, mereka baru berani menuliskan sunah Rasul saw.
Kesimpulan
sejarah perkembangan hadis pada masa
sahabat berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Kondisi pada masa
sahabat besar, perhatian mareka masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran
al-Qur’an. Sedangkan penulisan hadis belum begitu berkembang, bahkan mereka
membatasi periwayatan dan menjauhi penulisan hadis tersebut. Oleh karena itu,
masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya
pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah)
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama
menunjukkan perhatiannya dalam pemeliharaan hadis, beliau mengadakan
penilaian-penilaian riwayat, dan beliau meletakkan batu pertama dalam
undang-undang periwayatan hadis.
Diantara usaha Umar ibn Khattab ialah:
a.
Menyedikitkan Riwayat.
b.
Berhati-hati Dalam
Meriwayatkan Hadis.
c.
Para Sahabat Tidak Meriwayatkan Hadis Yang
Belum Dapat Difahami Umum.
Periwayatan hadis pada masa sahabat
ditempuh melalui dua jalan:
a.
Periwayatan Lafdzi
(Redaksi)
Periwayatan Maknawi (Maknanya Saja)
Posting Komentar