1. Pengertian Poligami
Kata poligami, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti
perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti
suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.[1]
Pengertian poligami menurut bahasa indonesia adalah sistem perkawinan yang
salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu
yang bersamaan. Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang
mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari
kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan
seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang
berasal dari kata polus berarti banyak dan andros berarti
laki-laki.
2. Poligami dan Islam
Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang sudah lama
muncul. Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak jaman dahulu tidak asing dengan
poligami. Misalnya, poligami sudah dikenal oleh orang-orang Hindu, Bangsa
Israel, Persia, Arab, Romawi, Babilonia dan lain-lain.[2]
Disamping itu, poligami telah dikenal bangsa-bangsa dipermukaan bumi sebagai
masalah kemasyarakatan. Di dunia barat, kebanyakan mereka menentang dan
membenci poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa di barat menganggap bahwa
poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai
perbuatan yang tidak bermoral. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan lain, di
barat kian merajalela terjadinya praktek-praktek poligami secara liar di luar
perkawinan. Contoh, Hendrik II, Hendrik IV, Lodeewijk XV, dan Napoleon. Bahkan
para pendeta nasrani yang telah bersumpah untuk tidak akan kawin selama
hidupnya, mereka memiliki kebiasaan memelihara istri-istri gelap dengan izin
sederhana dari uskup atau kepala-kepala gereja mereka.
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami
sebagai alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan
seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar
tidak sampai jatuh kelembah perzinahan. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah
menghindari agar suami tidak terjerumus kejurang maksiat yang dilarang islam
dengan mencari jalan yang halal, yaitu poligami dengan syarat bisa berlaku
adil. Dasar pokok islam yang membolehkan poligami adalah firman Allah SWT.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”(QS. Al-Nisa’: 3)
Ayat ini merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim,
yang kemudian disebutkan kebolehan tentang beristri lebih dari satu
sampai empat. Menurut tafsir Aisyah r.a ayat ini turun karena menjawab
pertanyaan Urwah bin Zubair kepada Aisyah istri Nabi SAW, tentang ayat ini.
Lalu beliau menjawabnya. “wahai anak saudara perempuanku, yatim disini
maksudnya adalah anak perempuan yatim yang berada dibawah asuhan walinya
mempunyai harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaannya, serta
kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya, lalu ia ingin
menjadikannya sebagai istri, tetapi tidak memberi maskawin dengan adil, yaitu
memberikan maskawin yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain.
Karena itu, pengasuh anak yatim yang seperti ini dilarang menikahi mereka,
kecuali kalau berlaku adil kepada mereka dan memberikan maskawin kepada mereka
lebih tinggi dari biasanya. Maksud ayat tersebut adalah jika seseorang
laki-laki merasa yakin tidak dapat berbuat adil kepada anak perempuan yatim,
maka carilah perempuan lain. Pengertian semacam ini, dalam ayat tersebut, ialah
sebuah hasil dari pemahaman secara tersirat, sebab para ulama sepakat bahwa
siapa yang yakin dapat berbuat adil terhadap anak perempuan yatim, maka ia
berhak untuk menikahi wanita lebih dari seorang. Sebaliknya, jika takut
tidak dapat berbuat adil ia dibolehkan menikah dengan perempuan lain.[3]
Berlaku adil yang dimaksud adalah perlakuan adil dalam
meladeni istri: seperti pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain yang berifat
lahiriah. Islam memang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu
dan ayat tersebut membatasi diperbolehkannya poligami hanya empat orang saja.
Namun, apabila takut akan berbuat durhaka apabila menikah dengan lebih dari
seorang perempuan, maka wajiblah ia cukupkan dengan seorang saja.
3. Syarat-Syarat Poligami
Syariat islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai
empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka. Bila suami khawatir
berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka ia haram
berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram
menikah dengan empat orang. Jika sanggup hanya memenuhi hak dua orang istri
maka ia haram menikahi tiga orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim
dengan mengawini dua orang perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.[4]
Dalam sebuah hadis Nabi SAW. disebutkan:
عن ابي هريرة انّ النّبي صلّى الله عليه وسلّم قال: من كانت له
امرأتان فمال الى احداهما جاء يوم القيامة وشقّه مَاءلٌ. (رواه ابوداود و
الترمذى والنساء وابن حبان)
“Dari Abu Hurairah r.a. sesunguhnya Nabi SAW bersabda,
barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu memberatkan kepada salah
satunya, maka ia akan datang hari kiamat nanti dengan punggung miring. (HR. Abu
Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Hiban).
Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas,
tidaklah bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Nisa’ ayat: 129.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al-Nisa’: 129)
Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dalam masalah
berlaku adil, pada ayat 3 surat Al-Nisa’, diwajibkan berlaku adil. Pada
hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah berentangan karena yang dituntut
disini adalah adil dalam masalah lahiriah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil
yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih
sayang. Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan
dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya
dalam genggaman Allah SWT. Yang mampu membolak-balikkannya menurut
kehendak-Nya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan
istri yang satu tetapi tidak begitu dengan istri yang lainnya. Dalam hal ini,
apabila tidak sengaja, ia tidak terkena hukum dosa karena berada diluar
kemampuannya. Oleh karena itu, ia tidaklah dipaksa untuk melakukannya.[5]
4. Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tatacara poligami yang resmi diatur
islam memang tidak ada ketentuan secara pasti, namun di Indonesia, dengan
kompilasi hukum islamnya, telah mengatur hal tersebut.
a) Suami yang hendak beristri
lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama, yang pengajuannya telah diatur dengan peraturan pemerintah.
b) Perkawinan yang dilakukan
dengan istri kedua, ketiga, keempat tanpa izin dari pengadilan agama tidak
mempunayai kekuatan hukum.
Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari satu orang apabila:
1) Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri.
2) Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
4) Istri sakit ingatan.
5) Suami mendapatkan bahwa istri memiliki
sifat dan perangai yang buruk dan tidak dapat diperbaiki.[6]
Disamping syarat-syarat tersebut di atas, maka untuk
memperoleh izin pengadilan agama harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan
istri.
b. Adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
5. Hikmah Poligami
Dengan menyimak hikmah-hikmah yang terkandung dalam
poligami, hendaknya ada kemauan dari pihak pemerintah untuk turut memperhatikan
masalah ini. Diantara hikmah-hikmahnya adalah:
Ø Merupakan karunia Alloh dan
rahmat-Nya kepada manusia, yaitu diperbolehkannya poligami dan membatasinya
sampai dengan empat.
Ø Islam, sebagai agama
kemanusiaan yang luhur, mewajibkan kaum muslimin untuk melaksanakan pembangunan
dan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Mereka tidak akan sanggup
memikul tugas risalah pembangunan ini, kecuali bila mereka mempunyai negara
yang kuat dalam segala bidang. Hal ini tidak akan terwujud apabila jumlah
penduduknya sedikit, karena untuk tiap bidang kegiatan hidup manusia diperlukan
jumlah ahli yang cukup besar untuk menanganinya. Buankah pepatah mengatakan
bahwa kebesaran terletak pada keluarga yang besar pula. Jalan untuk mendapatkan
jumlah yang besar hanyalah dengan adanya perkawinan dalam usia subur atau
alternatif lain dengan berpoligami.
Ø Negara merupakan pendukung
agama, kadang suatu negara menghadapi suatu peperangan yang mengakibatkan
banyak penduduk yang gugur dalam medan peperangan. Oleh karena itu, haruslah
ada badan yang memperhatikan janda-janda para syuhada dan tidak ada jalan lain
untuk mengurusinya kecuali dengan menikahinya, disamping untuk menggantikan
jiwa yang telah tiada. Adakalanya, dalam suatu negara jumlah kaum wanita lebih
banyak dibandingkan jumlah pria. Oleh karena itu, ada semacam kaharusan untuk
menanggung dan melindungi jumlah yang lebih itu. Jika tidak ada yang
bertanggungjawab melindungi mereka, tentu mereka akan berbuat menyeleweng sehingga
masyarakat menjadi rusak moralnya.[7]
Ø Adakalnya istri mandul atau
sakit keras dan tidak ada harapan untuk sembuh, padalah ia masih berkeinginan
untuk melanjutkan hidup berumah tangga dan suami masih mengingnkan lahirnya
anak yang sehat dan ia memerlukan seorang istri untuk mengurusi rumah
tangganya. Dan pemecahan yang terbaik adalah dengan berpoligami.
Ø Ada segolongan laki-laki
yang mempunyai dorongan seksualitas tinggi yang merasa tidak puas dengan hanya
seorang istri. Oleh karena itu, daripada orang-orang semacam ini hidup dengan
teman perempuan yang rusak akhlaknya tanpa ikatan pernikahan, lebih baik
diberikan jalan yang halal yaitu berpoligami.
[1] Tihami, Fikih Munakahat Kajian
Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 351
[2] Ibid., 352
[3] Tihami, Fikih Munakahat... (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 360
[4] Ibid., 362
[5] Tihami, Fikih Munakahat...
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 363
[6] Rahman, Penjelasan Lengkap
Hukum-Hukum Allah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 193
[7] Tihami, Fikih Munakahat...
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 372
Posting Komentar