Islam
sebagai kekuatan politik memasuki Afrika Utara sejak masa Khalifah Umar bin
Khattab, dilanjutkan oleh Khalifah Muawiyah dari dinasti Bani Umayyah. Di sisi
lain, usaha awal itu kemudian diperkuat dengan gerakan dakwah islam dikalangan
suku bangsa Barbar yang dimotori oleh Yahya bin Ibrahim al-Jadali, seorang
pemuka kabilah Sanhaja, pada 440 H. Ketika dinasti bani Abbas di Bagdad dan
dinasti Fathimiyah di Mesir melemah, serta dinasti Bani Umayyah di Spanyol
runtuh (1031 M), maka gerakan dakwah ini tumbuh menjadi gerakan politik, dan
berhasil mewujudkan dinasti bangsa Barbar yang menguasai Afrika Utara, bagian
barat dan Andalusia. Dinasti yang muncul itu
kemudian dikenal dengan nama al-Murabithun yang berkuasa sekitar tahun 1056-1147 M, dan al-Muwahhidun yang berkuasa sekitar 1130-1269 M.
kemudian dikenal dengan nama al-Murabithun yang berkuasa sekitar tahun 1056-1147 M, dan al-Muwahhidun yang berkuasa sekitar 1130-1269 M.
1.
Dinasti al-Murabithun
(1056-1147 M)
Istilah
Murabithun diambil dari kata ribath yang berarti suatu tempat
peribadatan dan pengajian yang didirikan oleh Abdullah bin Yasin. Ia adalah
seorang ulama besar bermadzhab Maliki yang berasal dari Maroko Utara. Ia
ditugaskan oleh Syekh Abu Amran al-Fasi untuk mendakwahkan agama dikalangan
suku bangsa Barbar Sanhaja di daerah Sahara, Maroko bagian selatan. Mereka
sebenarnya telah mengenal islam sejak abad ketiga hijriyah, karena dakwahnya
dianggap sangat memberatkan dan terlalu keras bagi masyarakat nomadik Barbar,
maka ia diusir dari Sahara.[1]
Ia
melanjutkan dakwahnya ke arah selatan sekitar sungai Sinegal. Disana ia
mendirikan sebuah ribath sebagai tempat ibadah dan mengajarkan agama
bagi masyarakat sekitar. Karena menempati ribath ini, mereka disebut
kelompok Murabithun. Disamping itu mereka juga disebut kelompok al-mulastimun
(bercadar). Di tempat itulah mereka mendapat pengikut, dan kemudian
terbentuklah suatu masyarakat keagamaan. Atas dasar motivasi keagamaan, maka
mereka mengorganisir diri untuk melakukan jihad
ke berbagai wilayah suku Sanhaja.
Dari
sinilah gerakan dakwah agama itu kemudian bergeser kearah gerakan politik.
Abdullah bin Yasin dan para pengikutnya (kelompok murabithun) kemudian
mengadakan penyerangan terhadap suku Barbar lainnya yang mereka anggap sesat.
Di bawah komando panglima Abu Bakar bin Umar, suku-suku Barbar di Sahara dan
Maroko mereka serang, dan dalam pertempuran itu Abdullah bin Yasin meninggal
dunia (1059 M). Abu Bakar bin Umar selanjutnya memimpin gerakan ini hingga ia
memindahkan ibu kota kekuasaannya dari sebuah kota kecil di Sahara ke Marakesh
pada tahun 1070 M.[2]
a.
Masa Kejayaan Dinasti
Murabithun
Dinasti
Murabithun mengalami kemajuan ketika berada di bawah kepemimpinan Yusuf bin
Tasyfin (1061-1106 M). Ia memperluas kekuasaannya ke Fes, kemudian ke Tlemsan
dan Aljazair, hingga mencapai pegunungan Kabyles. Prestasi ini menunjukkan
bahwa murabithun merupakan dinasti suku Barbar yang pertama kali berhasil
menguasai sebagian besar wilayah Afrika Utara bagian barat.
Atas
pestasi itu Yusuf bin Tasyfin diminta bantuan oleh al-Mu’tamid, penguasa bani
Abbas di Andalusia yang sedang terancam oleh pasukan Kristen yang dipimpin oleh
raja alfonso VI dari kerajaan castilia. Dalam pertempuran hebat yang terjadi di Zallaqah pada 23 Oktober 1086 M, pasukan tentara Islam (sekitar 20.000 orang) itu memukul mundur pasukan
Castilia, dan memperoleh kemenangan
besar atas Alfonso VI (Raja Castile Leon). Merasa berpengalaman dan berhasil menghadapi musuh di Eropa, Yusuf bin
Tasyfin dengan pasukannya kembali ke Eropa lagi pada tahun 1090 M. Mereka
menguasai Granada, Sevilla dan kota-kota penting lainnya. Dengan demikian,
Yusuf bin Tasyfin berhasil menguasai wilayah kerajaan muslim di Eropa, kecuali
Toledo.
Kedatangannya
yang kedua kali ke andalusia menyadarkan Yusuf bin tasyfin bahwa kelemahan
politik dan keruntuhan moral rakyat al-Mu’tamid,mengharuskan murabithun
menguasai andalusia. Yusuf kemudian meminta para ulama di Granada dan Malaga
untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa para penguasa Muslim di
Andalusia tidak cakap dalam menjalankan pemerintahan karena telah menyeleweng
dari ajaran al-Qur’an. Fatwa tersebut ternyata mendapat dukungan dari para
ulama timur, termasuk ulama terkenal yang bernama al-Ghozali. Fatwa tersebut
dijadikan dasar oleh Yusuf untuk menguasai Andalusia dan memerangi para
penguasa yang tidak bersedia wilayahnya dikuasai Murabithun. Ternyata tekad
Yusuf tidak hanya menghapuskan kekuasaan kristen dan raja-raja kecil di
Spanyol, tetapi dia bermaksud agar Spanyol menjadi bagian dari kekuasaan
Murabithun di daratan Afrika Utara.
Bersamaan
dengan penaklukan di Aledo, pada 1090 Granada dapat dikuasai tanpa peperangan.
Kemudian pada tahun berikutnya Cordova jatuh ketangan Yusuf dan menjadikannya
ibu kota kedua di samping Maroko di Afrika Utara, selanjutnya Yusuf menaklukkan
seluruh wilayah di Spanyol Selatan. Dari
sana ia terus ke wilayah Spanyol utara hingga pada akhirnya pada tahun 1094
kota Badajoz dapat dikuasainya. Pada 1095 kota Seville dikuasainya bahkan
al-Mu’tamid ibn Abbad ditangkap, kemudian dibuang ke Afrika Utara. Upaya
penaklukan tidak berhenti disana, tetapi terus dilakukan denga kemenangan demi
kemenangan hingga pada 1102 Valencia dapat direbut. Selanjutnya pada 1107,
Saragossa pun dikuasai Yusuf.[3]
Kegemilangan
Yusuf tersebut tidak brlangsung lama, karena pada tahun 1107 M, dia wafat.
Dia kemudian mewariskan kekuasaannya
kepada putranya yang bernama Ali ibn Yusuf berupa imperium yang sangat luas,
mulai dari wilayah Magrib, sebagian Afrika Utara, hingga Spanyol islam yang
membentang ke utara sampai ke Praha. Ali tidak secakap ayahnya dalam
menjalankan pemerintahannya. Kendati demikian, Ali sering pula memimpin
pasukannya berjihad melawan orang-orang Kristen yang belum dikuasai oleh para
pendahulunya. Beberapa daerah yang dikuasi kristen dapat direbutnya. Selain itu
masa pemerintahan Ali diketahui banyak menghasilkan beberapa bangunan megah.
Para arsitek dan pekerja bangunan dari Andalusia berdatangan ke Marrakesh.
Mereka membuat rencana bangunan dan mengajarkan teknik-teknik bangunan dengan
memasukkan konsep dekorasi dan aksesori bangunan bergaya Mesir yang dipadukan
dengan gaya Irak.
Disinilah
mulai bermunculan bangunan-bangunan baru yang cukup megah dan cukup artistik,
seperti istana di Marrakesh, Dar al-Hajar, Masjid Ja’o di Tilimsan, Masjid
Qayrawan di Fez, Masjid Agung al-Jeria serta bangunan-bangunan lainnya yang
saat itu dapat dikatakan sebagai keagungan bangsa Barbar hasil peninggalan
Murabithun. Namun kini semuanya itu tinggal puing-puing saja karena telah
hancur dimakan zaman dan sebagainya karena serangan musuh.
b.
Masa Kemunduran Dinasti
Murabithun
Menurut
catatan sejarah, pemimpin dan amir murabithun berjumlah enam orang. Dari enam
orang itu, empat yang pertama berhasil mengantarkan dinasti itu berkembang dan
mengalami kemajuan. Mereka adalah Abdullah bin Yasin (1056-1059), Abu Bakar bin
Umar (1059-1061), Yusuf bin Tasfin (1061-1107), Ali bin Yusuf (1107-1143),
sedangkan dua orang amir berikutnya Ibrahim bin Tasyfin (1143-1145), dan Ishak
bin tasyfin (1145-1147) tidak mampu mempertahankan kemajuan murabithun.
Sebenarnya
tanda-tanda kemunduran murabithun mulai tampak sejak kepemimpinan Ali bin
Yusuf karena ia lebih berminat dalam
bidang keagamaan sehingga pada masanya para ulama memperoleh kedudukan tinggi
dan sangat berpengaruh pada pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan
apabila tokoh-tokoh agama dimasa itu bersikap keras terhadap penduduk yan bukan
beragama islam. Lebih dari itu orang-orang Yahudi di Andalusia dipaksa membayar
pajak yang cukup tinggi dengan dalih agar mereka dapat mejalankan agamanya
secara bebas. Sementara itu, mereka yang kurang mampu harus meninggalkan tempat
tinggalnya.
Ali
sebagai pemimpin pemerintahan mulai tidak memperhatikan urusan negara dan
pemerintahan. Dia mulai berpuasa pada siang hari dan pada malam harinya terus
bermujahadah. Akibat dari sikapnya yang tidak peduli ini, ditambah sikapnya
yang menampakkan kezuhudan, maka ia terjerambah kedalam pengaruh tokoh-tokoh
fiqh saat itu, sehingga keberadaannya tidak lebih dari sekedar boneka mainan di
tangan mereka. Kondisi ini diperparah dengan adanya kecenderungan para fuqaha’
yang mengkafirkan orang lain dan menumpuk harta kekayaan. Dalam hal tindakan
pengkafiran ini, para fuqaha’ sampai berani mengkafirkan al-Ghazali. Yang lebih
ekstrim lagi mereka mengeluarkan fatwa agar kitab-kitab karya al-Ghazali,
khususnya Ihya’ Ulum al-Din, dibakar dan tidak boleh ada yang tersisa
dikalangan kaum muslim. Tindakan tersebut didasarkan pada suatu anggapan bahwa
dalam kitab tersebut sebagian besar membahas ilmu kalam. Atas dasar itu, para
pejabat negara pemegang administrasi pemerintahan lebih diarahkan agar dalam
mengambil kebijaksanaan harus selalu berlandaskan fatwa-fatwa fuqaha’.[4]
Dalam
kondisi yang demikian buruk, pada 1118 kota saragossa jatuh ketangan Alfonso,
raja Aragon. Raja ini memperluas pengaruhnya sampai ke Spanyol bagian selatan
dengan melakukan ekspedisi militer pada 1125-1126. Ketika Ali bin Yusuf
meninggal dunia pada 1143, kekuasaan diwariskan kepada putranya Ibrahim bin
Tasyfin. Ibrahim pun sama seperti ayahnya kurang mempunyai kecakapan dalam
menjalankan pemerintahan.
Pada
masa pemerintahan Ibrahim, telah terjadi pemberontaka sebanyak dua kali, yakni
pada 1144 dan 1145. Pada tahun itu pula Ibrahim meninggal dunia. Sepeninggalan
Ibrahim, kepemimpinan diwariskan kepada saudaranya yang bernama Ishak bin
Tasyfin, bersamaan dengan itu muncul gerakan Muwahhidun yang berhasil merebut
kota Marrakesh dari kekuasaan Murabithun pada 1146. Setahun kemudian yakni pada
tahun 1147 gerakan Muwahhidun berhasil melumpuhkan kekuasaan Murabithun,
sekaligus membunuh Ishak bin Tasyfin. Peristiwa tersebut menandai berakhirnya
kekuasaan Murabithun di Afrika Utara dan
digantikan dinasti Muwahhidun.[5]
2.
DINASTI MUWAHHIDUN
(1130-1269 M)
Nama
Muwahhidun yang berarti “orang-orang yang mengesakan tuhan” dinisbatkan
kepada kelompok yang mendasari gerakannya pada keyakinan bahwa Allah adalah
Maha Esa (Ahad), serta tidak dapat digambarkan secara fisik, sebagaimana
kelompok Mujassimin yang mempercayai bahwa Tuhan mempunyai anggota badan
seperti manusia (antropomorphism). Menurut pelopor Muwahhidun, kelompok
pengikut faham Mujassimin ini, yakni para penguasa Murabithun, dianggap kafir,
sementara hanya Muwahhidun saja yang paling benar keyakinan tauhidnya.
Muwahhidun lahir untuk memprotes madzab Maliki yang kaku, konservatif dan
legalistik yang berkembang di Afrika Utara berkat dakwah Murabithun. Disamping
itu, dinasti ini muncul sebagai respon dari kehidupan sosial yang mengalami
kerusakan sejak masa akhir kekuasaan Murabithun.[6]
Sebagaimana
Murabithun, kemunculan dinasti Muwahhidun berawal dari gerakan dakwah agama
beralih menjadi kekuatan politik dan reformasi sosial. Perbedaan keduanya,
Murabithun banyak diwarnai faham Fiqhiyah Malikiyah, sedangkan Muwahhidun
banyak diwarnai oleh pemikiran Theologis atau Kalam. Gerakan dakwah ini
dipelopori oleh Muhammad ibn Tumart yang kemudian bergelar al-Mahdi. Ia berasal
dari kabilah Masmudah, Barbar, suku Hargah di wilayah Sus Magrib al-Aqsha. Ia
adalah ulama besar yang berguru diberbagai pusat ilmu pengetahuan, Spanyol dan
Bagdad suatu ketika ia pernah di undang oleh Ali bin Tasyfin, penguasa
Murabithun untuk berdebat dengan para fuqaha’ di sana yang berakhir dengan
pengusiran Ibn Thumart.
Di
tempat yang baru, Aghmat, ia banyak menarik banyak pengikut dalam waktu yang
sangat cepat. Kemudian ia memperbaiki organisasi dakwahnya dengan menyusun
sebuah buku tauhid, dan menyusun struktur organisasi yang membagi para
pengikutnya menjadi empat belas kelompok, dan masing-masing mempunyai
tugas-tugas khusus. Ia dan para pengikutnya meneruskan dakwahnya ke
wilayah-wilayah Afrika Utara bagian barat seperti Sinegal, Ghana dan Nigeria.
Dalam dakwahnya mereka banyak menentang penguasa Murabithun, karena dianggap
zalim. Penguasa yang zalim tidak wajib ditaati, bahkan harus dilawan. Dan
menurutnya, jika keadaan sosial terus memburuk, maka mereka membutuhkan
kedatangan al-Mahdi (sang penyelamat yang ditunggu-tunggu). Untuk itu, ia
mengklaim diri sebagai al-Mahdi tersebut.[7]
Setelah
merasa kuat, doktrin amar ma’ruf nahi munkar, Ibn Tumart mengadakan serangan ke
ibu kota Murabithun di Marakesh, tetapi tidak berhasil. Selang beberapa waktu
setelah penyerangan itu, ia jatuh sakit yang mengantarkan tutup usia, setelah
mewasiatkan kepemimpinannya kepada Abdul Mukmin. Selanjutnya Abdul Mukmin mulai
meneruskan perluasan wilayah dakwah sekaligus politik ke Talimsan (1147 M),
kemudian ke Fes, Cauta, Tangier, dan Aghmat. Marakesh ibu kota Murabithun,
dikepung sekali lagi sehingga akhirnya dapat dijatuhkan. Setelah itu ia menuju
ke Spanyol, dan berhasil menguasai sebagian wilayahnya. Ia lanjutkan
perjalanannya untuk menaklukkan al-Jazair (1152 M), Tunisia (1158 M), dan Libia
(1160 M). Sejak inilah dapat dikatakan bahwa gerakan dakwah itu telah berhasil
menjadi kekuatan politik.
Dinasti
Muwahhidun berkuasa selama kurang lebih 122 tahun, dipimpin oleh 14 sultan.
Mereka adalah Abdul Mukmin (1130-1163 M), Abu Ya’qub (1163-1184 M), Abu Yusuf
Ya’qub (1184-1199 M), Muhammad al-Nashir (1199-1214 M), al-Mansur (1214-1223
M), al-Makhlu (1223-1234 M), al-‘Adil (1234-1227 M), al-Mu’tasim (1227-1229 M),
al-Makmun (1229-1232 M), al-Rashi (1232-1242 M), al-sa’id (1242-1248 M),
al-Murtadla (1248-1266 M), dan al-Wasiq (1266-1269 M).[8]
Karena
wilayahnya yang berdekatan dengan wilayah Spanyol, maka Afrika Utara dapat
lebih mudah berhubungan dengan Spanyol. Muwahhidun merupakan dinasti yang mulai
menerima dan memelihara sejumlah besar peradaban negara tetangga itu. Menara
masjid yang di bangun oleh sultan Yusuf Ya’qub tidak tertandingi keindahannya
pada saat itu. Kota Rabbat di Maroko diperluas, sedangkan rumah sakit yang
representatif juga dibangun. Perekonomian dan pertanian di sana telah maju.
Produksi pertanin melimpah yang meliputi buah-buahan, sayuran, rempah-rempah,
gandum, tebu, kapas dan kunyit. Hasil pertanian dan industri diekspor sampai
Asia Tengah dan India. Alat pencetak uang yang berbentuk segi empat penuh
dengan ukiran dibuat pula. Beberapa cabang ilmu pengetahuan berkembang, hal itu
dapat dibuktikan dengan lahirnya para ilmuan dengan berbagai karya yang hingga
kini sebagiannya masih kita pergunakan. Filosuf dan ahli Sufi lahir pada masa
pemerintahan dinasti Muwahhidun, seperti Ibn Rusd ahli fiqh dan dokter, beliau
juga mengarang kitab Tahafut Tahfut dan Bidayat al-Mujtahid. Salah
satu temuannya dalam bidang kedokteran adalah bahwa seorang pasien yang terkena
cacar tidak akan terkena untuk kedua kalinya. Ilmuan dan filosuf lainnya
seperti, Musa bin Maimun, Ibn Tufail, Ibn ‘Arabi dan Ibn Qasie.[9]
Kemunduran
dinasti muwahhidun disebabkan antara lain karena luasnya wilayah kekuasaan,
sementara penduduknya sangat majemuk yang terdiri dari bangsa Barbar yang
terkenal dengan sifatnya yang keras dan bengis. Wilayah yang luas ini khususnya
di Spanyol sulit dikontrol oleh pemerintah pusat, sehingga akhirnya mudah
dikuasai oleh tentara kristen Spanyol yang belakangan mengalami kebangkitan
politik. Pada tahun 1212 M, al-Nashir dengan bala tentaranya yang berjumlah lima
ratus ribu orang dapat dikalahkan oleh pasukan kristen. Maka sejak saat itu ibu
kota Spanyol jatuh ketangan kekuasaan kristen dan wilayah lainnya dikuasai
Muluk al-Thawa’if.
Adapun
penyebab yang menjadikan dinasti Muwahhidun mengalami kehancuran adalah
timbulnya berbagai pemberontakan di Afrika Utara yang menuntut kemerdekaan
seperti, Bani Tilimsan. Namun yang paling langsung berdampak adalah
pemberontakan yang dilancarkan oleh Bani Marin yang berhasil merebut Marakesh.
Maka semua wilayahnya di Afrika Utara direbut oleh Bani Marin sedangkan wilayah
di Spanyol dikuasai penguasa Kristen.[10]
Dengan
demikian dapat kita ketahui bahwa kedua dinasti ini sama-sama berangkat dari
sebuah gerakan dakwah agama beralih menjadi kekuatan politik. Bedanya adalah
bahwa gerakan keagamaan Murabithun lebih menekankan pada fiqh madzab Maliki
yang kaku, sedangkan gerakan keagamaan Muwahhidun lebih menekankan pada ajaran
tauhid yang membebaskan. Kedua-duanya mempunyai corak yang keras dalam
mendakwahkan agamanya, hal ini lebih disebabkan oleh latar belakang pendiri
serta pengikutnya yang terdiri dari bangsa Barbar yang bersifat keras pula.
[1] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: Umm Pres,
2004), 112
[2] Ibid., 112
[3] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga
Modern (Ponorogo: STAIN Ponorogo Pres, 2009), 200
[4] Ibid., 204
[5] Rofiq, Sejarah Peradaban... (Ponorogo: STAIN Ponorogo Pres,
2009) 205
[6] Ibid., 206
[7] Nurhakim, Sejarah... (Malang: UMM Pres, 2004), 115
[8] Ibid., 115
[9] Rofiq, Sejarah Peradaban... (Ponorogo: STAIN Ponorogo Pres,
2009), 208
[10] Ibid., 208
cerita sejarah peradaban islam tentang beberapa dinasti ini sangatlah bagus untuk semua umat islam
BalasHapus