Dengan telah membayar sejumlah uang, orang tua dan lingkungannya telah menempatkan anak didik seperti kendaraan yang dititipkan pada sebuah bengkel. Tragisnya, kalau pun berhasil hanya ditakar dengan tolak ukur formalistik, yakni kecerdasan intelektual (IQ). Orang tua dan lingkungannya akan merasa tidak lagi rugi kalau saja nilai raportnya tidak dilumuri warna merah tanpa mau peduli pada sisi emosional-spiritual anaknya.
Hal ini lebih disebabkan oleh pandangan untung-rugi seperti transaksi jual-beli, dengan kepuasan pada kecerdasan intelektual anak didiknya. Menitipkan anak didik dianggap layak dengan ukuran material, bukan dengan rasa saling memiliki dan sesuatu yang jauh dari pengalaman proses belajar-mengajar anak didik. Karenanya kecerdasan emosional dan spiritual yang diidamkan, terlewatkan dalam iklim pendidikan yang besifat kontraktual sebagai buah dari kapitalisasi pendidikan tersebut.
Inilah yang dapat kita baca pada kapitalisasi pendidikan dewasa ini. Pendidikan dengan cepat menjadi barang dagangan yang menggiurkan bagi banyak orang. Motifnya lebih disebabkan mencari keuntungan material sebanyak-banyaknya dari Bisnis Pendidikan tanpa ambil pusing untuk apa pendidikan itu sendiri.
Posting Komentar